DESA PEDULI GAMBUT Supaya Tidak ada Upaya Terbuang
Kategori : Berita DMSI Posted : Rabu, 21 Februari 2018

Kompas

21 Februari 2018

 

DESA PEDULI GAMBUT

Supaya Tidak ada Upaya Terbuang

 

Selama ini, banyak upaya restorasi gambut melibatkan masyarakat desa. Beragam program pendampingan dilakukan baik oleh pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, masyarakat sipil, maupun pengusaha. Persoalannya, semua upaya tersebut berdiri sendiri-sendiri.

 

Setelah menjalankan program lebih dari dua tahun, Badan Restorasi Gambut (BRG) mendapatkan banyak hal sebagai pembelajaran. Data tentang siapa melakukan apa, dimana, dan bagaimana melakukannya tidak terdata dengan baik. Hal ini terungkap dalam sosialisasi Desa Peduli Gambut oleh BRG pada 12 Februari kepada kelompok pengusaha yang sebagian konsesinya berada di lahan gambut.

 

Akibat kurangnya koordinasi dalam perencanaan dan pelaksanaan, muncul kesulitan mengukur hasil kumulatif dari program tersebut. Agar dampak positif dapat tercatat dengan baik. Desa Peduli Gambut menjadi kerangka penyelaras program yang sudah ada dan alat ukur bersama untuk menentukan kontribusi setiap pelaku.

 

Saat ini, dari 1.205 desa target restorasi gambut, 1.000 desa menjadi sasaran Desa Peduli Gambut. Sejumlah 200 desa didanai oleh APBN, 300 didanai LSM dan donor lainnya, sedangkan 500 desa lainnya dari perusahaan karena berada di wilayah konsesi perusahaan.

 

Pada 2016, BRG mulai bekerja untuk persiapan. Pada 2017, BRG mendampingi 75 desa dengan dana APBN untuk desa di luar konsesi perusahaan. "Tahun 2018, kami masuk ke areal perusahaan supaya bisa belajar dari pengalaman 2017," ujar Myrna Safitri, Deputi Edukasi, Sosialisasi, Partisipasi, dan Kemitraan BRG.

 

Myrna mencontohkan, di desa-desa yang rawan kebakaran dibangun sumur bor. 

 

"Tetapi, kalau ditanya, desa itu sudah punya beberapa sumur bor, enggak tahu," ujar Myrna.

 

Pendataan menjadi hal pertama yang harus dilakukan. Selanjutnya, bagaimana mengintegrasikan ini ke dalam sistem yang ada. Pemelajaran lainnya adalah pemberdayaan ekonomi yang tanpa imajinasi terpaku pada yang telah ada.

 

"Hanya terpaku pada beberapa komoditas yang menguntungkan, padahal potensi desa amat besar. Kreativitas membangun upaya pemberdayaan ekonomi berbasis keragaman komoditas amat jarang dilakukan," kata Myrna.

 

Program Desa Peduli Gambut, antara lain, memperkenalkan cara kerja baru dalam membangun yang mensyaratkan keterbukaan komunikasi.

 

"Jangan kelihatannya semua ada, tetapi tidak ada komunikasi. Akibatnya, impak tidak bisa dilihat luas karena ada desa-desa favorit. Semua mau di situ. Ada desa-desa lain yang semua tidak mau. Sekarang kita mau berbagai (daerah). Tidak gampang karena tidak ada yang mau menanggung resiko. Di sini BRG masuk pertama," ujar Myrna.

 

Keterbatasan dana membuat BRG hanya bisa tinggal setahun dan sebaiknya pihak lain melanjutkan.

 

 

Menyatukan

Seharusnya semua program tersebut disamakan terlebih dahulu karena ada beragam dana yang masuk ke dalam program pemberdayaan desa yang memiliki wilayah gambut. Dana desa dan dana perusahaan saat ini tidak jelas pemanfaatannya.

 

"Ada dana desa Rp 500 juta, misalnya, lalu dana perusahaan yang besarnya beragam. Seharusnya bisa diperjelas mana yang dengan dana desa mana yang bukan," kata Myrna. Karena tidak terdapat kejelasan tersebut, banyak program tumpang tindih.

 

Yusra, Kepala Subdit Ketahanan Masyarakat Desa dari Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, mengatakan tentang kucuran Rp 60 triliun untuk dana desa. Dari jumlah itu, sekitar Rp 300 juta untuk upah kerja desa. Kegiatan pembangunan antara lain membuat embung.

 

Dalam sosialisasi itu ditegaskan perlunya menyamakan cara kerja, indikator kinerja, dan bagaimana mengevaluasi cara kerja itu. "Soal cara kerja dan indikator kinerja dan evaluasi harus kita samakan karena ada output yang bisa disepakati bersama untuk tolak ukur keberhasilan program ini. Intinya adalah berbagi data, termasuk peta di mana mereka, perusahaan-perusahaan, bekerja untuk membangun desa peduli gambut," kata Myrna.

 

Salah satu prioritas adalah membantu desa-desa yang rawan kebakaran hutan dan lahan. Hal lain yang ditangani adalah desa yang berada di kawasan hutan bisa mendapatkan izin perhutanan sosial. Pihak BRG, antara lain, juga membantu masyarakat yang memang memenuhi syarat untuk mendapat program perhutanan sosial dengan membantu menyusun proposal. Persoalan lain yang juga harus ditangani adalah resolusi konflik.

 

Menurut Purwadi dari Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia, dari anggotanya, terdapat 100 perusahaan yang arealnya masuk areal gambut. "Kami telah menyusun panduan penguatan sosial masyarakat desa di sekitar konsesi. Sebenarnya mirip dengan panduan BRG," ujarnya. Purwadi bersedia untuk berupaya mengadopsi panduan yang diterbitkan BRG.

 

 

(Brigitta Isworo Laksmi)

Bagikan

RELATED POST

Event

Pengunjung