Banyak dijegal, kinerja ekspor minyak sawit RI malah melejit
Kategori : Berita DMSI Posted : Senin, 19 Februari 2018

ANTARA FOTO/Budi Candra Setya

kumparan.com

19 Februari 2018

https://kumparan.com/kabarbisnis/banyak-dijegal-kinerja-ekspor-minyak-sawit-ri-malah-melejit-1519011402594

Banyak dijegal, kinerja ekspor minyak sawit RI malah melejit

 

JAKARTA, kabarbisnis.com: Sudah berapa cara sejumlah negara industri maju menjegal ekspor minyak sawit (Crude Palm Oil/CPO) . Mulai kampanye hitam yang disuarakan lembaga swadaya bahw industri sawit tidak ramah lingkungan , pemacu deforestasi hingga pelanggaran hak asasi manusia.Sementara otoritas Uni Eropa (UE) mengeluarkan EU Labelling Regulation 1169/2011 yang mempersyaratkan pencantuman sumber minyak nabati secara spesifik untuk seluruh produk makanan yang beredar di UE. Belum lama juga berselang, UE juga menerapkan kebijakan diskrimnasi dengan menggenakan bea masuk  antidumping (BMAD) atas produk biodisel dengan margin 8.8%-23,3%.Namun, bukan kelesuan yang terjadi, melainkan peningkatan eksportasi. Sepanjang tahun lalu, ekspor minyak sawit dan turunannya, tidak termasuk biodiesel dan oleochemical, mencapai 31,05 juta ton, meningkat 23% dari tahun sebelumnya yang hanya 25,11 juta ton.Dengan volume tersebut, nilai yang didapat negara menembus US$22,97 miliar atau naik 26% dibandingkan 2016 yang hanya US$18,22 miliar. Angka itu pun dinobatkan sebagai yang tertinggi yang pernah terjadi sepanjang sejarah ekspor minyak sawit Indonesia. "Nilai ekspor minyak sawit tahun 2017 ini merupakan nilai tertinggi yang pernah dicapai sepanjang sejarah ekspor minyak sawit Indonesia," terang Sekjen Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Togar Sitanggang di Jakarta, Selasa (30/1/2018).Ironisnya,UE yang selama ini mencoba menghambat perdagangan minyak sawit Tanah Air, justru menjadi salah satu pihak yang menyumbang kenaikan. Tercatat, sepanjang 2017, negara-negara di Benua Biru itu mengimpor 5,03 juta ton CPO, melonjak 15% dari 2016 yang hanya 4,37 juta ton."Serangan selalu ada tetapi ekspor naik. Mereka tidak mau ada minyak sawit Indonesia yang masuk tetapi sekarang angkanya lebih tinggi," ujar Togar.Selain UE, hampir semua negara tujuan utama ekspor mencatatkan kenaikan. India menjadi yang tertinggi dengan angka 7,63 juta ton, naik 32% dari tahun sebelumnya 5,78 juta ton. Disusul Tiongkok yang mencatatkan kenaikan 16% dari 3,23 juta ton menjadi 3,73 juta ton.Diikuti negara-negara Afrika sebesar 2,29 juta ton atau naik 50% dari 1,52 juta ton. Kemudian Pakistan yang naik 7% menjadi 2,21 juta ton, Timur Tengah merangkak 9% ke angka 2,12 juta ton, Bangladesh melonjak 36% menjadi 1,26 juta ton dan Amerika Serikat naik 9% menjadi 1,18 juta ton."Semua kenaikan ini karena penduduk dunia terus tumbuh. Walaupun dihambat, kebutuhan akan minyak sawit sebagai bahan baku berbagai kebutuhan sehari-hari tidak bisa ditampik. Selama penduduk dunia terus bertumbuh, kebutuhan minyak sawit bertumbuh. Semakin berkembang dan maju suatu negara, kebutuhan minyak sawit semakin besar," jelas Togar.Hanya saja, ia mengajak semua pihak harus bersiap untuk menghadapi hambatan-hambatan berikutnya yang pasti akan kembali dimunculkan oleh dunia internasional terutama UE."Sebenarnya kita selalu siap. Kita selalu bersikap 'ada apa lagi nih?' Seperti sudah biasa menerima tuduhan dari luar," ujarnya.Togar menambahkan pihaknya memberikan perhatian serius atas rencana parlemen UE yang akan mengeluarkan resolusi sawit yang akan melarang biodisel berbasis sawit pada 2021. Padahal produk minyak nabati lainnya baru akan dilakukan pada 2013 mendatang.Pasalnya hal ini akan melemahkan ekpor minyak sawit nasional."Ada sejumlah negara pengimpor di Uni Eropa justru baru mencampurkan famme  . Kita mengekspor dalam bentuk CPO.Mereka punya pabrik pengolah biodisel. Apabila ekspor biodisel dilarang akan membuat ekspor CPO juga menurun," ujar dia.Direktur Eksekutif Gapki Danang Giriwardana menyebutkan dengan hasil yang didapatkan, sudah semestinya pemerintah mendukung pengembangan industri kelapa sawit dengan konsisten.Selama ini, beberapa pemerintah daerah (pemda) masih kerap melakukan hambatan dengan menarik sumbangan terhadap hasil CPO. "Itu yang sebenarnya membebani, menambah biaya. Artinya semakin besar biaya sumbangan ke pemda, kita harus naikkan harga CPO jadi harga tidak kompetitif," tandasnya.Di sisi lain, ia mengapresiasi pemerintah pusat yang sangat giat melakukan pembangunan infrastruktur terutama jalan. "Transportasi menjadi lancar. Yang biasanya harus ditempuh 4 jam kini hanya perlu 2 jam. Konsumsi BBM jadi turun. Efek itu sangat nyata," pungkasnya.

 

 

 

kbc11

Bagikan

RELATED POST

Event

Pengunjung