Organisasi Lingkungan Khawatir ISPO Makin Lemah, Mengapa?
Kategori : Berita DMSI Posted : Rabu, 19 September 2018

Foto: dokumen Laman Kinipan

mongabay.co.id

19 September 2018

Oleh: Lusia Arumingtyas

https://www.mongabay.co.id/2018/09/19/organisasi-lingkungan-khawatir-ispo-makin-lemah-mengapa/

Organisasi Lingkungan Khawatir ISPO Makin Lemah, Mengapa?

Peraturan Presiden soal sawit Indonesia berkelanjutan (Indonesian Sustainability Palm Oil/ISPO) belum terbit meskipun mulai revisi pada 2016. Kalangan organisasi masyarakat sipil menilai, pembahasan makin tak transparan hingga menimbulkan kekhawatiran kalau regulasi ini akan melemahkan kredibilitas sistem ISPO. Kalau terjadi pelemahan, bakal gagal memperbaiki tata kelola sawit maupun posisi tawar Indonesia di pasar dunia.

Abu Meridian, Direktur Eksekutif Kaoem Telapak meminta, presiden menunda penandatangan aturan ini dan melanjutkan proses konsultasi dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan.

”Ini memastikan kredibilitas skema ISPO yang baru, termasuk standar yang memenuhi prinsip-prinsip keberlanjutan yang diterima luas, termasuk dunia internasional,” katanya.

Pada Senin (10/9/18), Kaoem Telapak, tergabung dalam Forum Koordinasi Masyarakat Sipil (FKMS) untuk Penguatan ISPO mengirimkan surat penundaan penandatanganan Peraturan Presiden tentang Sistem Sertifikasi ISPO ini.

Pada April 2018, FKMS juga audiensi dengan Kemenko Perekonomian meminta pembahasan rancang ulang ISPO ini lebih terbuka dan diselenggarakan konsultasi publik nasional sebelum aturan disahkan.

”Kami mengusulkan pemerintah menyelenggarakan konsultasi publik tingkat nasional, agar draf Perpres ISPO hasil konsultasi publik regional juga mendapat masukan dari para pihak di tingkat nasional.”

Beberapa kali konsultasi publik regional sudah berlangsung dan draf perpres dengan usulan penguatan konten standar sistem sertifikasi ISPO sudah disusun pada September 2017. Namun, katanya, konsultasi publik nasional belum ada.

”Pada April lalu mereka menyebutkan, untuk lebih terbuka dalam pembahasan terkait draf perpres terlebih jika ada bagian penting di batang tubuh yang diubah,” kata Sarah Agustiorini, Juru Kampanye Sawit Kaoem Telapak.

Analisa Kaoem Telapak terhadap draf perpres pada April 2018 ada catatan soal sertifikasi ISPO. Dia menyayangkan, isi draf itu jauh dari yang disusun bersama para pemangku kepentingan hingga September 2017.

”Perubahan draf perpres malah berpotensi melemahkan kredibilitas ISPO sendiri, yang akhirnya berakibat pencapaian tujuan utama penguatan ISPO yakni memperbaiki tata kelola dan memperkuat posisi tawar Indonesia di pasar dunia, gagal dicapai,” katanya.

Aziz Hidayat, Ketua Sekretariat Komisi ISPO, tak mau berkomentar soal perkembangan regulasi penguatan ISPO ini. ”Yang penting saya kerja dan (melakukan) percepatan,”katanya ditemui di Jakarta.

Diah Suradiredja, Wakil Ketua Tim Kerja Penguatan ISPO menyebutkan, proses masih harmonisasi dan melihat kesesuaian hukum. ”Senin lalu, kami baru rapat harmonisasi dengan sekretaris kabinet dan Menteri Hukum dan HAM. Sekarang mungkin sedang dirapikan,”katanya.

Sebelumnya, Diah bilang, sedang menyiapkan aturan turunan sebelum perpres terbit. Tim juga sedang mengkaji soal kontribusi prinsip dan kriteria ISPO penguatan yang baru terhadap sustainable development goals (SDGs). ”Kita lihat satu per satu, ada 12 dari 17 goals (SDGs) kesesuaiannya, nanti kita perlu buktikan di lapangan, bukan hanya kesesuaian, indikator dan verifikasi juga disiapkan.”

Catatan buat ISPO

Abu mengatakan, draf rancangan perpres mengabaikan hasil dan masukan dari konsultasi publik regional. Salah satu soal prinsip ketelusuran dan hak asasi manusia.

”Tidak dirujuknya prinsip HAM fundamental dalam sistem ISPO jadi langkah mundur, terlebih pelanggaran HAM dalam konflik antara masyarakat dengan perkebunan sawit cukup besar di Indonesia,” katanya.

Menurut Sarah, draf rancangan ini juga menghilangkan pengaturan mengenai pemantau independen terhadap sistem ISPO. ”Posisi dan peran pemantau independen jadi bagian dari Komite ISPO (Pasal 12), untuk kegiatan pemantauan belum jelas seperti apa.”

Secara substansi, katanya, berpotensi mengurangi makna independensi pemantau yang bisa melemahkan kredibilitas sistem itu sendiri. Begitu juga, mekanisme pengajuan dan penyelesaian keberatan tak ada padahal salah satu indikator akuntabilitas sistem ini,

Diah menjelaskan, prinsip HAM tak hilang tetapi masuk dalam prinsip dan kriteria indikator lain. ISPO, katanya, akan menerapkan prinsip dan kriteria meliputi, pertama, kepatuhan peraturan-perundangan, kedua,penerapan praktik perkebunan yang baik, ketiga, pengelolaan lingkungan hidup, sumber daya alam, dan keragaman hayati. Keempat, tanggung jawab ketenagakerjaan, kelima, tanggung jawab sosial dan pemberdayaan ekonomi masyarakat, keenam, penerapan transparansi dan ketujuh, peningkatan usaha berkelanjutan.

Peroleh ISPO

Sementara itu, per 4 September 2018, pelaku usaha perkebunan yang sudah mengikuti sertifikasi ISPO ada 659, terdiri 648 perusahaan,tujuh KUD/KSU kebun plasma, dan tiga koperasi/asosiasi kebun swadaya.

Dari angka itu, sudah ada 525 laporan pengajuan diterima Sekretariat Komisi ISPO hingga Agustus 2018, 483 laporan sudah verifikasi.

Aziz bilang, sudah ada 413 sertifikat terbit atau sekitar 83% dari 483 laporan dan 67 sertifikat akan menyusul dalam waktu dekat.

Dari 413 sertifikat itu, katanya, terdiri 407 perusahaan, tiga KUD pekebun plasma dan tiga koperasi pekebun swadaya. ”Total 2,34 juta hektar (2.349.317) dan produksi minyak mentah 10,2 juta ton per tahun (10.204.706),” kata Azis katanya seraya bilang, rata-rata produktivitas 19,63 ton per hektar per tahun dan rendemen rata-rata 22,97%.

Meski demikian, masih ada 33 pelaku usaha ditunda karena masalah administrasi, antara lain lahan belum clean and clear. Dia contohkan, masalah hak guna usaha (HGU), pelepasan kawasan hutan, sengketa lahan, kebun pemasok ISPO, perubahan IUP, izin pembuangan dan pengangkutan limbah B3, dan pemanfaatan limbah cair.

Saat ini, katanya, perlu percepatan ISPO dalam legalitas lahan petani, misal, melalui program reforma agraria dan kebijakan lain. ”Petani banyak masih memiliki surat keterangan tanah, masih belum banyak memiliki sertifikat hak milik.”

Dia berharap, program penanaman kembali oleh pemerintah melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan Sawit dapat membantu sertifikasi legal.

Bagikan

RELATED POST

Event

Pengunjung