Menakar Tantangan Industri Sawit
Kategori : Berita DMSI Posted : Selasa, 24 April 2018

Bisnis Indonesia

24 April 2018

Opini

 

Menakar Tantangan Industri Sawit

Derom Bangun, Ketua Umum Dewan Minyak Sawit Indonesia

 

Beratnya tantangan industri sawit dapat dibayangkan dari seringnya Presiden Jokowi berbicara mengenai sawit di dalam dan di luar negeri.

Industri sawit Indonesia mulai berkembang dengan baik pada 1980. Maju lebih pesat lagi tahun 2000 diikuti oleh permintaan yang kuat dari dalam maupun luar negeri. Sekitar 2006 pertumbuhannya sangat mengagumkan sampai 2008, sehingga melonjak mencapai  harga tertinggi sepanjang masa yaitu di atas US$1.200 per ton di pasar Rotterdam.

 

Itu adalah harga yang fantastis dibandingkan dengan harga masa kini sekitar US$670 per ton. Meluasnya penggunaan biodiesel pada saat harga minyak mentah petroleum berada di atas US$100 per barel ikut mendorong kenaikan harga yang fantastis itu.

 

Bersamaan dengan meningkatkanya produksi Indonesia, kampanye di berbagai negara, termasuk di Indonesia juga terus meningkat. Namun tekanannya terhadap pasar belum berpengaruh besar kepada harga.

 

Posisi harga minyak sawit di pasar Internasional masih lebih ditentukan oleh naik turunnya harga minyak bumi mentah. Tekanan yang berpengaruh mulai terasa sekitar 2011 dan meningkat sesudahnya.

 

Tekanan lebih berat mulai terjadi pada 2014 dan kian berat pada 2015. Harga tertekan sampai di bawah US$750 per ton. Bahkan sekarang berada di level US$650 per ton.

 

Tantangan yang lansung berpengaruh pada ekspor biodiesel berbasis sawit pertama-tama datang dari Spanyol dan Italia yang menaikkan bea impor, sehingga biodiesel Indonesia tidak mampu bersaing dengan adanya tuduhan praktik dumping dan subsidi.

 

AS juga menaikkan bea masuk biodiesel berabasis sawit dengan alasan yang hampir sama. Akibatnya ekspor biodiesel turun drastis.

 

Tekanan yang kedua datang dari parlemen Uni Eropa yang mengusulkan untuk menghentikan pemakaian biodiesel berasal minyak sawit mulai tahun 2021, sementara pemakaian biodiesel berasal minyak nabati lain boleh sampai 2030.

 

Protes keras datang dari Indonesia termasuk dari Presiden Jokowi yang meminta agar diskriminasi terhadap minyak sawit di Uni Eropa segera dihentikan.

 

Tekanan besar yang tidak banyak diberitakan mendia adalah mengenai mutu minyak sawit Indonesia. Secara ilmiah telah dibuktikan bahwa minyak sawit dan minyak nabati lainnya mengandung bahan kontaminasi yang disebut 3-MCPD dan GE (Tri Mono Chloro Propane Diol dan Glycidyl Esters).

 

Bahan ini tergolong karsinogenik dan dikhawatirkan memicu kanker jika melampaui batas yang aman. Badan PBB yang mengurusi standar makanan yang disebut Codex Almentarius Commission (CAC) sudah lama membahas kontaminasi tersebut di dalam segala jenis minyak nabati.

 

Setelah standar yang pasti ditentukan oleh CAC, semua negara yang menjadi anggotanya harus mematuhinya. Sudah diketahui bahwa saat ini kandungan bahan kontaminasi tersebut di dalam sawit jauh melebihi ambang batas yang sedang dipertimbangkan. Karena itu, ketika nanti ketentuan tersebut diberlakukan, ekspor minyak sawit kita ke hampir semua negara akan terhambat jika kita tidak memperbaiki mutu minyak sawit.

 

Dampak peraturan ini akan jauh lebih besar karena akan menyangkut penggunaan sawit untuk industri makanan yang merupakan pengguna utama.

 

 

KAMPANYE NEGATIF

Tantangan lain yang bersifat laten adalah kampanye negatif oleh berbagai LSM di dalam dan di luar negeri. Isu yang menjadi bahan kampanye berganti-ganti mulai dari sewa langka, deforestasi, emisi karbon, buruh anak, lahan gambut, eksploitasi dan pelanggaran HAM.

 

Bahkan ada LSM yang suka mengulang cerita lama seperti orang utan. Bila dari pihak kita ada yang mengulang-ulang cerita lama tahun 1940-an, tentu masih terkenang masa penjajahan pihak Eropa yang melanggar HAM.

 

Bicara soal skenario optimistis dan pesimistis, ada baiknya dimulai dari skenario yang pesimis. Jika kita tidak melakukan apa-apa atau yang kita lakukan kurang efektif hasilnya, tekanan tidak akan berkurang bahkan bertambah berat.

 

Gejalanya akan terlihat pada volume ekspor kita ke Eropa yang akan menurun lebih cepat. Sektor makanan yang selama ini menjadi tujuan penggunaan minyak sawit akan lebih drastis penurunannya. Harga juga akan terus tertekan.

 

Eropa akan menyubstitusi minyak sawit dengan minyak nabati lain seperti minyak kanola, minyak kedelai dan minyak bunga matahari, sehingga suplai minyak nabati ke negara-negara importir seperti India dan China akan berkurang. Pengurangan ini akan dapat diisi oleh minyak sawit asalkan negara-negara tersebut belum terlalu ketat di dalam pengawasan kontaminasi 3-MCPD dan GE. Pada saat harga tertekan sampai di bawah US$500 per ton dan harga TBS akan berada di bawah Rp1.000 per kilogram, industri sawit Indonesia akan mengalami krisis.

 

Meski perusahaan-perusahaan besar akan mengalami krisis juga tetapi para petani yang semata-mata mengandalkan kelapa sawitnya juga kian terhimpit. Jika upaya kita dalam diplomasi, penelitian dan lainnya berhasil secara sebagian, krisis itu tidak terlalu berat.

 

Skenario kedua adalah yang optimistis. Hal ini akan tercapai jika syarat-syarat yang dibutuhkan dapat kita lakukan. Sebagai akibatnya ekspor akan lancar kembali, tidak hanya ke Eropa, AS, India, China, dan Pakistan tetapi juga negara-negara yang belum banyak membutuhkan minyak sawit.

 

Industri minyak sawit juga akan berjalan dengan sehat untuk membangun perkebunan yang berkelanjutan. Alhasil membawa perbaikan ekonomi bagi negara, kehidupan petani serta masyarakat.

 

Apa syarat agar kita mencapai skenario yang optimistis? Diperlukan tindakan-tindakan diplomasi, promosi, penelitian dan kemampuan menerapkannya di lapangan, yaitu di perusahaan-perusahaan dan kebun-kebun petani.

 

Mengenai penelitian 3-MCPD dan GE, perlu disadari bahwa kita sudah terlambat dan karena itu harus cepat dengan skala yang besar dan didahului dengan implementasi sebagian dari yang telah diketahui berdasarkan penelitian dan publikasi yang sudah ada.

 

Langkah ini sangat penting agar pada saat hasil penelitian sudah diperoleh, petani dan perusahaan tidak menghadapi kesulitan untuk menerapkan hasil penelitian.

 

Dalam bidang diplomasi kita harus bangga dan yakin dengan kemampuan yang sudah diawali oleh Presiden Jokowi dan para menteri serta perwakilan-perwakilan Indonesia di luar negeri serta asosiasi dan pemangku kepentingan lainnya.

 

Untuk penelitian kontaminasi sudah mulai dirintis dengan harapan dukungan dana oleh BPDPKS (Badan Pengelola Dana Pungutan Kelapa Sawit).

 

Aspek yang tidak ada habisnya adalah kampanye negatif oleh LSM. Pemerintah perlu melakukan berbagai pendekatan untuk mencapai kesepahaman dan juga agar pemerintah memahami karakter dan struktur LSM. Bersamaan dengan itu pemerintah juga perlu mendalami masalah lapangan seperti legalitas lahan dan kesulitan petani serta perusahaan untuk dapat menerapkan semua ketentuan-ketentuan untuk mencapai sawit yang berkelanjutan.

Bagikan

RELATED POST

Event

Pengunjung