RUU Perkelapasawitan Jalan Terus, Walhi: Presiden Harus Tegas Tolak Pembahasan
Kategori : Berita DMSI Posted : Jum'at, 30 Maret 2018

Hutan di Aceh, Indonesia, terbabat jadi sawit. Foto: Janaidi hanafiah/ Mongabay Indonesia

mongabay.co.id

30 Maret 2018

Oleh: Lusia Arumingtyas

https://www.mongabay.co.id/2018/03/30/ruu-perkelapasawitan-jalan-terus-walhi-presiden-harus-tegas-tolak-pembahasan/

RUU Perkelapasawitan Jalan Terus, Walhi: Presiden Harus Tegas Tolak Pembahasan

Rancangan Undang-undang Perkelapasawitan terus memasuki rapat-rapat pembahasan di DPR. Badan Legislasi DPR pun bakal mengundang berbagai pihak yang setuju maupun tidak dalam penyusunan UU yang menuai pro kontra ini. Organisasi lingkungan pun angkat bicara.

Pada Jumat (28/3/18), Baleg DPR rapat dengar pendapat dengan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), dan Forum Pengembangan Perkebunan Strategi Berkelanjutan (FP2SB) guna mendapatkan masukan dan pertimbangan. Pertemuan ini kali kedua setelah April 2017.

Baleg menyebutkan, pertemuan ini berulang karena pendapat pemerintah bilang, RUU ini belum diperlukan. ”Kalau melihat apa yang didengarkan tadi, UU yang mengatur perkelapasawitan masih tersebar di berbagai UU, seperti UU Perkebunan, Perindustrian, dan lain-lain dari hulu hingga hilir,” kata Dossy Iskandar Prasetyo, Wakil Ketua Badan Legislasi DPR.

Dia bilang, dengan perkembangan saat ini, dipandang perlu mengintegrasikan jadi satu UU yang lex spesialis. Dossy tak memberikan penjelasan lebih detil soal lex spesialis itu.

Kalau mengacu makna asas hukum lex specialis derogat legi generalis ini merupakan peraturan khusus yang mengenyampingkan peraturan umum. Dengan asas ini, pengetahuan hukum melihat persoalan hukum dalam berbagai peraturan perundang-undangan atau peraturan.

Alasan yang Dossy kemukakan, UU perlu ada karena industri sawit berperan penting dalam pemasukan devisa negara di sektor perkebunan. Hak rakyat baik plasma ataupun swadaya pun dia disebut-sebut sebagai alasan UU ini penting. Juga UU perlu agar regulasi terintegrasi dari hulu ke hilir.

”RUU ini diharapkan dapat menciptakan kepastian, keadilan dan kemanfaatan hukum. Muatan harus responsif dan menjawab berbagai isu yang berkembang,” katanya tanpa sebutkan jelas isu yang berkembang itu, apakah soal deforestasi, kerusakan lingkungan ataukah pelanggaran HAM, seperti konflik lahan yang meluas karena makin masif industri ini atau hal-hal lain lagi.

Sebelumnya pada 17 Juli 2017, pemerintah, dalam melalui Menteri Koordinator Perekonomian menyampaikan, belum perlu RUU ini. Alasan pemerintah, antara lain dari 17 bab RUU, hanya satu bab berbeda dengan UU yang ada, dua bab sedikit berbeda dan 14 bab tak ada beda. Ia sudah tercantum dalam UU Perkebunan, UU Perdagangan, dan UU Perindustrian serta UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani.

”Kalau lebih banyak manfaatnya kenapa harus berhenti, kalau dipandang UU yang ada sudah cukup memadai, ya harus rasional untuk (pembahasan RUU) ini tidak diteruskan,” kata Darmin Nasution, Menteri Koordinator Perekonomian, dalam rapat kala itu.

Dossy pun akan dialog dengan pemerintah soal perkembangan urgensi RUU Perkelapasawitan ini.

Berbagai pihak yang setuju maupun tidak akan diundang dalam masa harmonisasi maupun kala bahasan di panitia kerja (panja).

”Kalau kontra di masyarakat juga perlu difasilitasi, perlu diundang, karena penting biar gak ngawur karena norma akan menentukan arah. Jadi nanti kalau norma tidak adil, menghambat kesadaran masyarakat melakukan koreksi,” katanya.

Dalam draf RUU disebutkan akan ada badan khusus sawit. Pandangan pemerintah menyatakan, badan khusus yang menangani sawit berpotensi tumpang tindih dengan kewenangan kementerian dan lembaga.

Menurut anggota DPR dari Hanura ini, akan melihat perkembangan pemikiran dan orientasi kepentingan rakyat. ”Jika badan belum urgen, ya tidak perlu badan, tapi regulasi ini dipandang perlu.”

Achmad Mangga Barani, Ketua Forum Pengembangan Perkebunan Strategis Berkelanjutan, juga mantan Direktur Perkebunan Kementerian Pertanian mengatakan, pandangan RUU sawit sebagai kepentingan pengusaha itu relevan jika berada pada era 1980-an.

Kala itu, petani hanya memiliki luas 6.174 hektar, perusahaan negara 199.538 hektar dan perusahaan swasta 199.538 hektar.

Kini, petani rakyat berkembang pesat, sudah memiliki lahan sawit sekitar 4,7 juta hektar lebih, perusahaan swasta melesat sampai 6.798.820 hektar, dan perusahaan negara 725.585 hektar.

Permasalahan terbesar, katanya, perkebunan rakyat sangat lemah dan perlu peraturan perundang-undangan. Dia sebut sawit memberikan kontribusi devisa negara Rp239 triliun dan melibatkan 17 juta tenaga kerja.

Soal pandangan RUU Perkelapasawitan belum perlu, Achmad nyatakan masih perdebatan. Dia bilang, UU yang ada hanya mengatur hulu untuk semua komoditi dan tak mengatur industri hilir.

Bahkan, katanya, antara regulasi masih inkonsistensi yang tak menguntungkan perkembangan sawit. Dia contohkan, pembukaan lahan dengan cara bakar masih bertentangan antara UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan UU Perkebunan.

Begitupula PP No 24/2015 tentang penghimpunan dana perkebunan bertentangan pula dengan UU 39/2014, pengelolaan di lahan gambut serta ketinggian air di lahan gambut. Lalu soal, pabrik sawit wajib pemenuhan bahan baku 20% serta aturan hak guna usaha dan tata ruang.

Dia berharap, pembahasan RUU Perkelapasawitan bisa menjadi instrumen hukum yang mampu menjawab berbagai isu, masalah, hambatan dan tutuntutan sawit di Indonesia.

”RUU ini harus bersifat lex spesialis dari UU Perkebunan UU terkait lain.”

Fadhil Hasan, dari Gapki mengatakan, industri sawit penting dalam upaya pengentasan kemiskinan hingga UU perlu ada.

Diapun mengaitkan, persaingan dagang di sektor minyak nabati dunia selalu menyudutkan sawit Indonesia. Sawit, katanya, dituntut berprinsip berkelanjutan.

Dengan UU sawit ini, katanya, memberikan landasan hukum lebih kuat guna memastikan sawit Indonesia berkelanjutan.

Rino Afrino, Wakil Sekjen Apkasindo menyebutkan, RUU ini penting terutama bagi petani yang punya permasalahan belum ada solusi. Dia sebutkan, instrumen penyelesaian kebun sawit di kawasan hutan, produktivitas masih rendah, proses peremajaan, peningkatan sumber daya manusia dan sarana dan prasarana masih lambat, tata niaga tandan buah segar dan masalah kemitraan.

”Sawit itu bisa dilepaskan dari kemitraan, ini juga perlu penekanan.”

Pemerintah harus tegas

Sementara dari organisasi masyarakat sipil menuntut Presiden Joko Widodo bersikap tegas dalam menarik diri dari pembahasan RUU Perkelapasawitan. Mereka nilai, RUU ini cenderung pro-korporasi, mengabaikan aspek sosial, lingkungan dan kesejahteraan masyarakat.

Khalisah Kalid, Kepala Departemen Kampanye dan Perluasan Jaringan Eksekutif Nasional Walhi mengatakan, kalau RUU disahkan, sama saja pemerintahan Joko Widodo melegitimasi pelanggaran-pelanggaran, ketidakpatuhan korporasi melalui kebijakan legislasi dan pengingkaran janji Nawacita.

”Presiden harus konsisten untuk tak membahas RUU. Pemerintah seharusnya proaktif kepada DPR untuk tidak mau terlibat,” katanya dalam diskusi di Jakarta.

Berdasarkan data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dikutip Walhi, luas perkebunan sawit Indonesia 15,7 juta hektar. Rincian, 28,03% kebun sawit petani swadaya, 3,14% BUMN dan 68,83% korporasi.

Bahkan, katanya, dari sektor penerimaan pajak sawit yang dirilis KPK mengatakan, produksi dan ekspor industri sawit meningkat tetapi tak elastis dengan peningkatan penerimaan pajak. Tingkat kepatuhan wajib pajak, baik badan dan perorangan mengalami penurunan signifikan.

Tingkat kepatuhan wajib pajak badan turun dari 70,6% (2011) jadi 46,3% (2015) dan tingkat kepatuhan wajib pajak perorangan turun dari 42,3% (2011) jadi 6,3% (2015).

Data Transparansi untuk Keadilan (TuK) Indonesia menyebutkan, perkebunan sawit yang dimiliki korporasi, hanya dikuasai 25 grup dan sekitar 100 taipan lain dan hanya empat korporasi dikelola BUMN.

”Penguasaan ruang ini memperlihatkan bahwa perkebunan sawit didominasi investasi,” kata Boy Jerry Even Sembiring, Manajer Kajian Kebijakan Eksekutif Nasional Walhi.

Kondisi ini, katanya, tak luput dengan ada konflik sosial dan dampak lingkungan pada masyarakat. Berdasarkan data Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), ada 450 konflik agraria sepanjang 2016, sebanyak 163 atau 36,22% di sektor perkebunan sawit, dominasi ekspansi. Bahkan, konflik ini terus-menerus terjadi dari tahun ke tahun.

Walhi mengeluarkan kertas posisi dengan judul Rencana Kotor di Balik RUU Perkelapasawitan. Sejak 2015, RUU ini ditetapkan DPR masuk dalam program legislasi nasional prioritas dan terulang pada 2016 ditetapkan sebagai prolegnas prioritas 2017.

Boy menyebutkan secara jelas semangat RUU ini hanya jadi alat melegalkan kejahatan yang selama berpuluh-puluh tahun telah dijalankan untuk melanggengkan bisnis korporasi. Terutama perkebunan sawit di areal hutan, gambut, dan pertanian.

Dia menyebutkan beberapa pasal dalam draf, seperti Pasal 23 ayat 2 (draf Maret 2017) memberikan skema pemutihan tindak pidana di kawasan hutan khusus bagi pekebun. Pasal ini, katanya, masih jadi ancaman disalahgunakan dengan pemalsuan dokumen peralihan lokasi kebun perorangan skala besar dan korporasi menjadi milik pekebun.

”Penggiringan sistem budidaya masyarakat (Pasal 29) ini akan menciptakan tanah-tanah baru dan juga mendorong percepatan konversi lahan pertanian menjadi perkebunan sawit.”

Tak hanya itu, potensi ekspansi lahan dan peluang landbanking pun terbuka. Pada Pasal 26, luas lahan untuk budidaya perkelapasawitan paling banyak 100.000 hektar atas nama satu perusahaan dengan kepemilikan dan, atau manajemen sama, bukan holding company.

Hal ini, katanya, jelas tak sejalan dengan janji Presiden dalam program reforma agraria dan perhutanan sosial (RAPS).

Alin, panggilan akrab Khalisah, khawatir, tekanan partai politik yang besar menjelang pilkada serentak dan pemilihan presiden 2019 akan memudahkan jalan RUU ini.

”RUU ini akan jadi transaksi politik untuk mengebut pembahasan dan pengesahan RUU,” katanya, seraya bilang, terlebih RUU digagas partai politik termasuk PDIP.

Pelestarian lemah

RUU ini membuka peluang pemanfaatan dan pembukaan lahan, ekosistem gambut untuk perlindungan sawit, yakni Pasal 7 ayat (2), Pasal 22 ayat (4). Sangat jelas, katanya, ini bertentangan dengan upaya tata kelola perkebunan sawit yang sedang dibuat pemerintah melalui Inpres Moratorium.

Sebenarnya, masih ada permasalahan mendasar perkebunan sawit belum terselesaikan, seperti ketimpangan penguasan lahan oleh perkebunan sawit skala besar, tetapi luput dari bahasan RUU ini.

Walhi menilai, perlu ada perintah langsung dari presiden untuk menolak pembahasan RUU ini. Pernyataan pemerintah yang disampaikan Darmin Nasution, Menteri Koordinator Perekonomian menolak pembahasan dan urgensi RUU Perkelapasawitan, pada Juli 2017, dinilai tidak cukup.

Lebih baik, katanya, DPR bersama pemerintah memperbaiki pelemahan dalam UU Perkebunan, yang beberapa kali digugat ke Mahkamah Konstitusi.

Bagikan

RELATED POST

Event

Pengunjung