PASAR CPO GLOBAL Tetap Yakin Setelah Keputusan UE
Kategori : Berita Anggota Posted : Senin, 22 Januari 2018

Bisnis Indonesia

22 Januari 2018

Oleh: Eva Rianti

 

PASAR CPO GLOBAL

Tetap Yakin Setelah Keputusan UE

 

Keputusan Parlemen Uni Eropa pada Rabu (17/1) lalu terkait dengan larangan penggunaan minyak sawit mentah sebagai bahan bakar alternatif menimbulkan kekecewaan bagi negara eksportir, terutama Malaysia dan Indonesia, kontributor utama pasar Benua Biru. Sumbangan kedua negara itu mencapai 7 juta ton setiap tahun.

 

Kendati demikian, diperkirakan pada kuartal 1/2018 harga crude palm oil (CPO) itu diproyeksi bergerak pada kisaran 2.400 ringgit - 2.650 ringgit atau setara US$609,36-US$672,84 per ton.

 

Harga CPO sejauh ini tercatat telah mengalami penurunan cukup signifikan pada awal tahun. Secara year to date (ytd), harga terkoreksi hingga 3,17%. Posisi terakhir telah mengalami pelemahan 35 poin atau 1,41% menjadi 2.441 ringgit (US$619,77) per ton pada penutupan perdagangan Jumat (19/1) di bursa Malaysia, kontrak teraktif April 2018.

 

Angka itu merupakan level terendah sepanjang 2018 setelah sempat menyentuh level tertingginya di 2.612 ringgit pada 10 Januari 2018.

 

Analis Asia Trade Point Futures Deddy Yusuf Siregar menuturkan, keputusan dari Parlemen UE terkait dihapuskannya CPO sebagai bahan dasar biofuel memicu kecemasan produsen utama dunia pada komoditas perkebunan tersebut.

 

Dua negara penghasil utama, Malaysia dan Indonesia, tercatat berkontribusi hingga 85% dari total produksi CPO global.

 

"Kondisi ini tentunya akan berimbas pada menurunnya permintaan. Efek dari menurunnya permintaan itu bisa berkepanjangan, terutama pada penurunan ekspor ke Uni Eropa," kata Deddy ketika dihubungi Bisnis, Jumat (19/1).

 

Menurut Intertek Testing Service, pengiriman dari Malaysia sebagai negara eksportir CPO utama dunia diprediksi akan mengalami penurunan hingga 7,4% pada pertengahan Januari ini, sementara Societe General de Suveillance memproyeksikan penurunan hingga 2,8%.

 

Meskipun sejumlah pihak mencemaskan isu dari UE tersebut, namun Direktur PT Garuda Berjangka Ibrahim menuturkan pihaknya masih optimistis terhadap harga CPO global. Pasalnya, faktor pelemahan harga CPO dilandasi atas sentimen politis yang menunjukan soft therapy terhadap pemerintah Malaysia dan Indonesia.

 

Adapun sentimen politis biasanya memiliki efek yang bersifat sementara, sehingga menimbulkan pergerakan yang kuat pada harga komoditas, mengingat pelaku pasar melakukan profit taking.

 

Dari segi fundamental, Ibrahim mengaku tidak setuju jika permintaan akan terus melemah. Soalnya, meskipun permintaan dari UE akan menurun, namun pemesanan dari negara importir tradisional, seperti India, China, Jepang, dan Korea Selatan masih positif.

 

"Harga bisa kembali naik, posisinya tidak mungkin turun terus. Dari kemarin [dalam sebulan] tidak ada fundamental bagi CPO. Setelah ada masalah ini, langsung jatuh, tapi ini wajar. Awal 2018, pelaku pasar banyak mengambil posisi beli," tutur Ibrahim, Minggu (21/1).

 

Di samping itu, riset dari Garuda Berjangka itu mengungkapkan adanya sentimen positif dari kemungkinan melemahnya mata uang ringgit akibat penguatan dolar AS yang ditimbulkan dari isu government shutdown.

 

 

DAMPAK KEBIJAKAN

 

Ibrahim menambahkan, kebijakan UE yang merugikan Malaysia dan Indonesia sebaiknya segara diatasi dengan merangkul negara-negara importir tradisional tersebut.

 

"Karena UE memberikan signal yang tidak baik, maka Malaysia dan Indonesia harus bisa merangkul keempat negara tersebut," ungkap Ibrahim.

 

Pihaknya memproyeksikan pada kuartal I/2018, harga CPO bakal bergerak di kisaran 2.400 ringgit - 2.650 ringgit per ton.

 

Direktur Malaysia Palm Oil Board (MPOB) Ahmad Khusairi Din dilansir dari web resminya mengatakan, ekspor minyak kelapa sawit mentah ke UE telah turun 3,3% menjadi 2 juta ton pada 2017 dari tahun sebelumnya. Namun, permintaan dari India dan China tetap utuh, masing-masing 2,02 juta ton dan 1,92 juta ton minyak kelapa sawit.

 

Mengutip data ekspor MPOB, tercatat total ekspor CPO Malaysia masih mengalami kenaikan. Pada periode Desember tercatat kenaikan 4,68% menjadi 1,42 juta ton dari bulan sebelumnya 1,36 juta ton.

 

Adapun sepanjang 2017, total ekspor CPO Malaysia sebanyak 16,56 juta ton, naik 3,08% dari 2016 di posisi 16,05 juta ton.

 

Sementara itu, dari segi persediaan, CPO Malaysia masih melimpah hingga mengalami kenaikan 6,51% menjadi 2,73 juta ton dari periode sebelumnya 2,55 juta ton. Angka tersebut bahkan 35,1% lebih tinggi dari tahun sebelumnya.

 

Menurut data MPOB diperkirakan adanya pemulihan produksi CPO pada 2018 sebesar 3% menjadi 20,5 juta ton, seiring dengan cuaca yang kembali normal. Adapun perusahaan riset Kenanga Research memproyeksikan produksi akan bertambah antara kisaran 20 juta - 21,1 juta ton.

 

"Proyeksi kami itu menunjukkan pertumbuhan 0%-6% yang didasarkan pada produksi rekor. Kami pikir ini wajar mengingat penyusutan produksi yang tajam pada musim 2016-2017 mengganggu tren produksi jangka panjang yang cenderung positif," papar Kenanga Research.

 

Lembaga riset minyak sawit entah itu memperkirakan harga CPO bergerak sideways dengan kisaran 2.370 ringgit - 2.575 ringgit per ton pada kuartal I/2018.

Bagikan

RELATED POST

Event

Pengunjung