Komoditas Sawit Belum Dapat Perhatian Layak Secara Politis
Kategori : Berita Anggota Posted : Kamis, 15 Maret 2018

Pemerintah dinilai belum memberi perhatian yang layak secara politis kepada industri kelapa sawit. Foto: Ilustrasi

sindonews.com

15 Maret 2018

Oleh: Sudarsono

https://ekbis.sindonews.com/read/1289978/34/komoditas-sawit-belum-dapat-perhatian-layak-secara-politis-1521111241

Komoditas Sawit Belum Dapat Perhatian Layak Secara Politis

JAKARTA - Pemerintah dinilai telah memberikan perhatian yang cukup terhadap komoditas kelapa sawit dari sisi ekonomi. Ini karena sawit memiliki daya saing yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan komoditas lain.


Namun demikian, komoditas ini dinilai belum memperoleh perhatian secara layak dari sisi politik. Hal itu ditunjukkan dengan tidak adanya posisi tawar dari asosiasi pertanian terhadap kebijakan pemerintah terkait sektornya.


"Dari sisi politik belum sama sekali," ujar pengamat ekonomi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Tony Prasetiantono saat menjadi pembicara pada Seminar dan Musyawarah Nasional (Munas) Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) X di Jakarta, Kamis (15/3/2018).

Kondisi ini, kata Tony, juga terjadi di sektor pertanian secara umum. Di mana hingga saat ini asosiasi petani tidak memiliki posisi tawar yang cukup dalam mempengaruhi kebijakan pemerintah.

Menurut Tony, hal ini berbeda jika dibandingkan dengan negara-negara maju seperti Jepang dan Amerika Serikat, di mana bargaining position (posisi tawar) asosiasi petani di negara-negara tersebut sangat kuat.


Padahal, kata Tony, jumlah petani di Jepang hanya sekitar 1% dari jumlah penduduk Negara Matahari Terbit tersebut. Demikian pula di AS yang hanya sekitar 5%. Sementara di Indonesia, jumlah petani sekitar 35% dari total penduduk.


Kendati hanya memiliki jumlah petani yang sangat kecil, namun pemerintah Jepang dan AS sangat perhatian terhadap isu swasembada. Hal itu dilakukan pemerintah Jepang dan AS dalam rangka menjaga ketahanan pangan (food security). Oleh karena itu, kebijakan yang ditempuh kedua negara tersebut memproteksi sektor pertanian.


"Proteksinya berupa harga, tidak boleh menabrak floor price (harga dasar). Kalau menabrak floor price berarti harganya terlalu murah. Nah kalau murah berarti disinsentif bagi petani, padahal petani di Jepang tinggal 1%. Kalau petani yang tinggal sedikit itu tidak diproteksi, maka mereka akan meninggalkan pertanian. Jadi di Jepang posisi tawar petani itu sangat tinggi," ujarnya.

Sementara di Indonesia sebaliknya, pemerintah Indonesia justru menerapkan ceiling price (harga batas atas). “Artinya harga tidak boleh menabrak plafon, kalau menabrak plafon, pemerintah ambil kebijakan impor. Jadi Indonesia lebih memproteksi konsumen," kata Tony.

Untuk sektor sawit, walaupun ada sekitar 20 juta orang yang bekerja di sektor ini, namun posisi tawar asosiasinya juga lemah. Pemerintah, kata dia, seharusnya mulai memberikan perhatian secara politik untuk pertanian, khususnya pada sawit.

 

 

(fjo)

Bagikan

RELATED POST

Event

Pengunjung